Assalamu’alaikum, wr. wb.
Mohon jawaban ustad tentang beberapa pertanyaan saya ini karena saya
sangat sulit mencari literatur yang membahas hal ini dari sudut pandang
syariat Islam. Jarang sekali kitab fiqih yang membahasnya dan kalopun
ada itu sangat singkat sekali dan tidak mendalam
- Aapakah onani termasuk dosa besar dan sama dengan zina?
- Adakah hukuman had untuk pelakunya?
- Apakah seseorang yang mengeluarkan mani karena sesuatu yang bukan sentuhan misalnya melihat film atau sejenisnya secara syar’i dimasukkan kedalam kategori onani?
- Adakah solusi secara syar’i untuk menolong orang-orang yang sudah addict akan hal ini?
- Bagaimanakah kedudukan dan maksud dari zina tangan, zina mata, bahkan ada seorang ustad yang menghukumi orang yang berfikiran atau membayangkan mesum juga sebagai zina. Samakah kedudukan zina ini dengan zina seperti yang digambarkan rosul dalam hadist?
Terima kasih.
Wa’alaikumussalam Wr Wb
Apakah Onani Sama Dengan Zina
Sayyid Sabiq menyebutkan bahwa telah terjadi perbedaan pendapat dikalangan para ulama dalam permasalahan onani :
1. Para ulama madzhab Maliki, Syafi’i dan Zaidiyah berpendapat bahwa
onani adalah haram. Argumentasi mereka akan pengharaman onani ini adalah
bahwa Allah swt telah memerintahkan untuk menjaga kemaluan dalam segala
kondisi kecuali terhadap istri dan budak perempuannya. Apabila
seseorang tidak melakukannya terhadap kedua orang itu kemudian melakukan
onani maka ia termasuk kedalam golongan orang-orang yang melampaui
batas-batas dari apa yang telah dihalalkan Allah bagi mereka dan beralih
kepada apa-apa yang diharamkan-Nya atas mereka. Firman Allah swt
وَالَّذِينَ هُمْ لِفُرُوجِهِمْ حَافِظُونَ ﴿٥إِلَّا عَلَى أَزْوَاجِهِمْ أوْ مَا مَلَكَتْ أَيْمَانُهُمْ فَإِنَّهُمْ غَيْرُ مَلُومِينَ ﴿٦
فَمَنِ ابْتَغَى وَرَاء ذَلِكَ فَأُوْلَئِكَ هُمُ الْعَادُونَ ﴿٧
Artinya : “dan orang-orang yang menjaga kemaluannya, kecuali terhadap
isteri-isteri mereka atau budak yang mereka miliki. Maka Sesungguhnya
mereka dalam hal ini tiada terceIa. Barangsiapa mencari yang di balik
itu. Maka mereka Itulah orang-orang yang melampaui batas.” (QS. Al
Mukminun : 5 – 7)
2. Para ulama madzhab Hanafi berpendapat bahwa onani hanya diharamkan
dalam keadaan-keadaan tertentu dan wajib pada keadaan yang lainnya.
Mereka mengatakan bahwa onani menjadi wajib apabila ia takut jatuh
kepada perzinahan jika tidak melakukannya. Hal ini juga didasarkan pada
kaidah mengambil kemudharatan yang lebih ringan. Namun mereka
mengharamkan apabila hanya sebatas untuk bersenang-senang dan
membangkitkan syahwatnya. Mereka juga mengatakan bahwa onani tidak
masalah jika orang itu sudah dikuasai oleh syahwatnya sementara ia tidak
memiliki istri atau budak perempuan demi menenangkan syahwatnya.
3. Para ulama madzhab Hambali berpendapat bahwa onani itu diharamkan
kecuali apabila dilakukan karena takut dirinya jatuh kedalam perzinahan
atau mengancam kesehatannya sementara ia tidak memiliki istri atau budak
serta tidak memiliki kemampuan untuk menikah, jadi onani tidaklah
masalah.
4. Ibnu Hazm berpendapat bahwa onani itu makruh dan tidak ada dosa
didalamnya karena seseorang yang menyentuh kemaluannya dengan tangan
kirinya adalah boleh menurut ijma seluruh ulama… sehingga onani itu
bukanlah suatu perbuatan yang diharamkan. Firman Allah swt
وَقَدْ فَصَّلَ لَكُم مَّا حَرَّمَ عَلَيْكُمْ
Artinya : “Padahal Sesungguhnya Allah telah menjelaskan kepada kamu apa yang diharamkan-Nya atasmu.” (QS. Al An’am : 119)
Dan onani tidaklah diterangkan kepada kita tentang keharamannya maka ia adalah halal sebagaimana firman-Nya :
Artinya : “Dia-lah Allah, yang menjadikan segala yang ada di bumi untuk kamu.” (QS. Al Baqoroh : 29)
5. Diantara ulama yang berpendapat bahwa onani itu makruh adalah Ibnu
Umar dan Atho’. Hal itu dikarenakan bahwa onani bukanlah termasuk dari
perbuatan yang terpuji dan bukanlah prilaku yang mulia. Ada cerita bahwa
manusia pada saat itu pernah berbincang-bincang tentang onani maka ada
sebagian mereka yang memakruhkannya dan sebagian lainnya membolehkannya.
6. Diantara yang membolehkannya adalah Ibnu Abbas, al Hasan dan
sebagian ulama tabi’in yang masyhur. Al Hasan mengatakan bahwa dahulu
mereka melakukannya saat dalam peperangan. Mujahid mengatakan bahwa
orang-orang terdahulu memerintahkan para pemudanya untuk melakukan onani
untuk menjaga kesuciannya. Begitu pula hukum onani seorang wanita sama
dengan hukum onani seorang laki-laki. (Fiqhus Sunnah juz III hal 424 –
426)
Dari pendapat-pendapat para ulama diatas tidak ada dari mereka yang
secara tegas menyatakan bahwa onani sama dengan zina yang sesungguhnya.
Namun para ulama mengatakan bahwa perbuatan tersebut termasuk kedalam
muqoddimah zina (pendahuluan zina), firman Allah swt
وَلَا تَقْرَبُوا الزِّنَا إِنَّهُ كَانَ فَاحِشَةً وَسَاءَ سَبِيلًا
Artinya : “dan janganlah kamu mendekati zina. Sesungguhnya zina itu
adalah perbuatan yang keji. Dan suatu jalan yang buruk.” (QS. Al Israa :
32)
Adapun apakah perbuatan tersebut termasuk kedalam dosa besar ?
Imam Nawawi menyebutkan beberapa pendapat ulama tentang batasan dosa besar jika dibedakan dengan dosa kecil :
Dari Ibnu Abbas menyebutkan bahwa dosa besar adalah segala dosa yang
Allah akhiri dengan neraka, kemurkaan, laknat atau adzab, demikian pula
pendapat Imam al Hasan Bashri.
Para ulama yang lainnya mengatakan bahwa dosa besar adalah dosa yang diancam Allah swt dengan neraka atau hadd di dunia.
Abu Hamid al Ghozali didalam “al Basiith” mengatakan bahwa batasan
menyeluruh dalam hal dosa besar adalah segala kemaksiatan yang dilakukan
seseorang tanpa ada perasaan takut dan penyesalan, seperti orang yang
menyepelekan suatu dosa sehingga menjadi kebiasaan. Setiap penyepelean
dan peremehan suatu dosa maka ia termasuk kedalam dosa besar.
Asy Syeikhul Imam Abu ‘Amr bin Sholah didalam “al Fatawa al Kabiroh”
menyebutkan bahwa setiap dosa yang besar atau berat maka bisa dikatakan
bahwa itu adalah dosa besar.
Adapun diantara tanda-tanda dosa besar adalah wajib atasnya hadd,
diancam dengan siksa neraka dan sejensnya sebagaimana disebutkan didalam
Al Qur’an maupun Sunnah. Para pelakunya pun disifatkan dengan fasiq
berdasarkan nash, dilaknat sebagaimana Allah swt melaknat orang yang
merubah batas-batas tanah. (Shohih Muslim bi Syarhin Nawawi juz II hal
113)
Dari beberapa definisi dan tanda-tanda dosa besar maka perbuatan
onani tidaklah termasuk kedalam dosa besar selama tidak dilakukan secara
terus menerus atau menjadi suatu kebiasaan.
Hendaknya seorang muslim tidak berfikir kecilnya dosa suatu
kemasiatan yang dilakukannya akan tetapi terhadap siapa dia bermaksiat,
tentunya terhadap Allah swt yang Maha Besar lagi Maha Mulia.
Apakah Onani Mesti Dengan Menggunakan Tangan
Pada asalnya istimna’ (masturbasi) adalah mengeluarkan mani bukan
melalui persetubuhan, baik dengan telapak tangan atau dengan cara yang
lainnya. (Mu’jam Lughotil Fuqoha juz I hal 65)
Masturbasi adalah menyentuh, menggosok dan meraba bagian tubuh
sendiri yang peka sehingga menimbulkan rasa menyenangkan untuk mendapat
kepuasan seksual (orgasme) baik tanpa menggunakan alat maupun
menggunakan alat.
Sedangkan onani mempunyai arti sama dengan masturbasi. Namun ada yang
berpendapat bahwa onani hanya diperuntukkan bagi laki-laki, sedangkan
istilah masturbasi dapat berlaku pada perempuan maupun laki-laki.
(sumber : situs.kesrepro.info)
Namun didalam buku-buku fiqih kata istimna’ (onani) ini adalah
mengeluarkan mani dengan menggunakan tangan baik tangannya, tangan istri
atau tangan budak perempuannya.
Adapun mengeluarkan air mani dengan alat (sarana) tertentu selain
tangan pada asalnya tidaklah berbeda dengan istmina’ dikarenakan
subsatansi perbuatan itu adalah sama, yaitu sama-sama mengeluarkan mani
untuk mendapatkan satu kenikmatan apakah dikarenakan kondisi terpaksa
atau tidak, sehingga hukumnya bisa disamakan dengan hukum onani yang
menggunakan tangan.
Ibnu ‘Abidin menyebutkan bahwa “Perkataan onani itu makruh” adalah
secara zhahir ia adalah makruh yang tidak sampai haram. Hal itu
dikarenakan bahwa kedudukan onani seperti orang yang mengeluarkan mani
baik dengan merapatkan kedua paha atau menekan perutnya. (Roddul Mukhtar
juz XV hal 75)
Adapun mengeluarkan mani dengan menonton film-film porno maka ini
lebih berat dari sekedar onani dikarenakan ia telah menyaksikan aurat
orang lain yang tidak halal baginya. Pada hakekatnya melihat aurat orang
lain melalui menonton film porno sama dengan melihat auratnya secara
langsung dan ini adalah haram.
Solusi Bagi Orang Yang Sudah Terbiasa Onani
DR. Muhammad Shaleh al Munjid, seorang ulama di Saudi Arabia,
menyebutkan beberapa solusi bagi orang-orang yang terbiasa melakukan
perbuatan ini, yaitu :
- Hendaklah faktor yang mendorongnya untuk melepaskan diri dari kebiasaan onani adalah untuk menjalankan perintah Allah swt dan menghindari murka-Nya.
- Mendorong dirinya untuk mengambil solusi mendasar dengan menikah sebagai pelaksanaan dari wasiat Rasulullah saw kepada para pemuda dalam permasalahan ini.
- Mengarahkan fikiran, bisikan dan menyibukan dirinya dengan perkara-perkara yang didalamnya terdapat kemaslahatan bagi dunia maupun akheratnya. Karena terus menerus menghayal akan mendorongnya untuk melakukan perbuatan itu dan pada akhirnya menjadikannya kebiasaan sehingga sulit untuk dilepaskan.
- Menjaga pandangan dari melihat orang-orang atau foto-foto yang
membawa fitnah apakah itu foto dari orang yang hidup atau sekedar gambar
dengan matanya secara langsung. Karena hal itu akan mendorongnya kepada
perbuatan yang diharamkan, sebagaimana firman Allah swt
قُل لِّلْمُؤْمِنِينَ يَغُضُّوا مِنْ أَبْصَارِهِمْArtinya : “Katakanlah kepada orang laki-laki yang beriman: “Hendaklah mereka menahan pandanganya…” (QS. An Nuur : 30)
Juga sabda Rasulullah saw,”Janganlah engkau ikuti pandanganmu dengan pandangan yang selanjutnya.” (HR. Tirmidzi, dan dihasankan didalam shahihul jami’)
Pandangan pertama adalah pandangan spontanitas yang tidak ada dosa didalamnya sedangkan pandangan kedua adalah haram. Untuk itu sudah seharusnya dia menjauhkan diri dari tempat-tempat yang didalamnya terdapat perkara-perkara yang bisa menggelorakan dan menggerakkan syahwat. - Menyibukkan dirinya dengan berbagai ibadah dan menghindari untuk mengisi waktu-waktu kosongnya dengan maksiat.
- Mengambil palajaran dari beberapa penyakit pada tubuh yang disebabkan kebiasaan melakukan onani seperti : melemahkan penglihatan dan syahwat, melemahkan alat reproduksi, sakit punggung dan penyakit-penyakit lainnya yang telah disebutkan oleh para dokter. Demikian pula dengan penyakit kejiwaan seperti : stress, kegalauan hati dan yang lebih besar dari itu semua adalah meremehkan waktu-waktu sholat dikarenakan berulang kalinya mandi… dan juga merusak puasanya (apabila dalam keadaan puasa).
- Menghilangkan berbagai cara untuk mencari kepuasan yang salah, dikarenakan sebagian pemuda menganggap bahwa perbuatan ini dibolehkan dengan alasan menjaga diri dari zina atau homoseksual padahal kondisinya tidaklah sama sekali mendekati perbuatan yang keji (zina/homoseksual) tersebut.
- Mempersenjatai diri dengan kekuatan kehendak dan tekad serta tidak mudah meyerah terhadap setan. Hindari berada dalam kesendirian seperti bermalam sendirian. Didalam sebuah hadits disebutkan bahwa Nabi saw melarang seseorang bermalam sendirian.” (HR. Ahmad didalam shahihul jami’ 6919)
- Mengambil cara-cara penyembuhan Nabi saw berupa puasa, karena ia dapat menekan gejolak syahwat dan seksualnya. Dia juga perlu menghindari beberapa solusi yang aneh, seperti bersumpah untuk tidak melakukannya lagi atau bernazar dikarenakan jika ia kembali melakukan hal itu maka ia termasuk kedalam golongan orang-orang yang memutuskan sumpah yang telah dikokohkan. Jangan pula menggunakan obat-obat penekan syahwat karena didalamnya terkandung berbagai bahaya bagi tubuh. Didalam sunnah disebutkan bahwa segala sesuatu yang dipakai untuk menghentikan syahwat secara keseluruhan adalah haram.
- Berkomitmen dengan adab-adab syari’ah saat tidur, seperti; berdzikir, tidur diatas sisi kanan tubuhnya, menghindarkan tidur telungkup yang dilarang Nabi saw.
- Berhias dengan kesabaran dan iffah. Hal yang demikian dikarenakan diantara kewajiban kita adalah bersabar terhadap hal-hal yang diharamkan walaupun hal itu disukai oleh jiwa. Telah diketahui bahwa sifat iffah dalam diri pada akhirnya akan menghentikannya dari kebiasaan tersebut, sebagaimana sabda Rasulullah saw,”Barangsiapa yang menjaga diri (iffah) maka Allah akan menjaganya, barangsiapa yang meminta pertolongan kepada Allah maka Allah akan menolongnya, barangsiapa yang bersabar maka Allah akan memberikan kesabaran kepadanya dan tidaklah seseorang diberikan suatu pemberian yang lebih baik atau lebih luas daripada kesabaran.” (HR. Bukhori, didalam Fath no 1469)
- Apabila seseorang telah jatuh kedalam perbuatan maksiat ini maka segeralah bertaubat dan beristighfar serta melakukan perbuatan-perbuatan taat dengan tidak berputus asa karena putus asa adalah termasuk kedalam dosa besar.
- Akhirnya, diantara kewajiban yang tidak diragukan adalah kembali kepada Allah dan merendahkan dirinya dengan berdoa, meminta pertolongan dari-Nya untuk melepaskan diri dari kebiasaan ini. Ini adalah solusi terbesar karena Allah swt senantiasa mengabulkan doa orang yang berdoa apabila dia berdoa. (sumber: islam-qa.com)
Hukum Zina Tangan atau Mata
Abu Hurairoh berkata dari Nabi saw,”Sesungguhnya Allah telah
menetapkan terhadap anak-anak Adam bagian dari zina yang bisa jadi ia
mengalaminya dan hal itu tidaklah mustahil. Zina mata adalah pandangan,
zina lisan adalah perkataan dimana diri ini menginginkan dan menyukai
serta kemaluan membenarkan itu semua atau mendustainya.” (HR. Bukhori)
Imam Bukhori memasukan hadits ini kedalam Bab Zina Anggota Tubuh
Selain Kemaluan, artinya bahwa zina tidak hanya terbatas pada apa yang
dilakukan oleh kemaluan seseorang saja. Namun zina bisa dilakukan dengan
mata melalui pandangan dan penglihatannya kepada sesuatu yang tidak
dihalalkan, zina bisa dilakukan dengan lisannya dengan membicarakan
hal-hal yang tidak benar dan zina juga bisa dilakukan dengan tangannya
berupa menyentuh, memegang sesuatu yang diharamkan.
Ibnu Hajar menyebutkan pendapat Ibnu Bathol yaitu,”Pandangan dan
pembicaraan dinamakan dengan zina dikarenakan kedua hal tersebut
menuntun seseorang untuk melakukan perzinahan yang sebenarnya. Karena
itu kata selanjutnya adalah “serta kemaluan membenarkan itu semua atau
mendustainya.” (Fathul Bari juz XI hal 28)
Meskipun demikian hukum zina tangan, lisan dan mata tidaklah sama
dengan zina sebenarnya yang wajib atasnya hadd. Si pelakunya hanya
dikenakan ta’zir dan peringatan keras.
DR Wahbah menyebutkan bahwa pelaku onani haruslah diberi ta’zir dan
tidak dikenakan atasnya hadd. (al Fiqhul Islami wa Adillatuhu juz VII
hal 5348)
Begitu pula penjelasan Syeikhul Islam Ibnu Taimiyah dengan bersandar
pada pendapat yang paling benar dari Imam Ahmad bahwa pelaku onani
haruslah diberikan ta’zir. (Majmu’ al Fatawa juz XXIV hal 145)
Ibnul Qoyyim mengatakan,”Adapun ta’zir adalah pada setiap kemaksiatan
yang tidak ada hadd (hukuman) dan juga tidak ada kafaratnya.
Sesungguhnya kemaksiatan itu mencakup tiga macam :
- Kemaksiatan yang didalamnya ada hadd dan kafarat.
- Kemaksiatan yang didalamnya hanya ada kafarat tidak ada hadd.
- Kemaksiatan yang didalamnya tidak ada hadd dan tidak ada kafarat.
Adapun contoh dari macam yang pertama adalah mencuri, minum khomr, zina dan menuduh orang berzina.
Adapun contoh dari macam kedua adalah berjima’ pada siang hari di bulan Ramadhan, bersetubuh saat ihram.
Adapun contoh dari macam yang ketiga adalah menyetubuhi seorang budak
yang dimiliki bersama antara dia dan orang lain, mencium orang asing
dan berdua-duaan dengannya, masuk ke kamar mandi tanpa mengenakan
sarung, memakan daging bangkai, darah, babi dan yang sejenisnya.
(I’lamul Muwaqqi’in juz II hal 183)
Adapun terkait dengan permasalahan orang-orang yang melampiaskan
kepuasannya dengan menghayalkan orang lain maka ini termasuk zina
maknawi. Untuk lebih jelasnya anda bisa baca dalam jawaban sebelumnya di
rubrik ini tentang “Berfantasi Saat Berhubungan Badan”.
Wallahu A’lam
Ustadz Sigit Pranowo
0 comments:
Post a Comment