Pada zaman Rasulullah saw masih hidup, kaum Muslimin sudah sepakat
bahwa sunnah merupakan salah satu sumber ajaran Islam di samping Al
Qur’an. Tidak ada bukti sejarah yang menjelaskan bahwa di zaman itu dari
kalangan umat Islam terdapat golongan yang jelas-jelas mengingkari
As-Sunnah sebagai sumber hukum setelah Al Qur’an, bahkan hingga pada
masa al Khulafa’ al Rasyidin dan Bani Umayyah. Barulah pada awal masa
Abbasiyah, muncul secara jelas sekelompok kecil dari umat Islam yang
menolak sunah sebagai salah satu sumber ajaran Islam.
Mereka itu
kemudian dikenal sebagai orang-orang yang berpaham ingkar sunnah.
Mereka itu oleh Asy Syafi’i dibagi tiga golongan yaitu (1) golongan
yang menolak seluruh sunnah; (2) golongan yang menolak sunnah, kecuali
bila sunnah itu memiliki kesamaan dengan petunjuk Al Qur’an; (3)
golongan yang menolak sunnah yang berstatus ahad dan hanya menerima
sunnah yang berstatus mutawatir.
Argumen-argumen Para Pengingkar Sunnah
Argumen yang telah dikemukakan oleh mereka yang berpaham ingkar
sunnah, baik oleh mereka yang hidup pada zaman Imam Syafi’i maupun
sesudahnya ada yang berupa argumen naqli, dan ada yang aqli.
- Argumen naqli
Argumen naqli mereka tidak hanya berupa ayat-ayat Al Qur’an saja,
tetapi juga berupa sunnah atau hadits Nabi saw. Namun dalil sunnah
mereka sangat rapuh, karenanya tidak dapat dijadikan hujjah. Sungguh
ironis, bahwa mereka yang berpaham ingkar sunnah ternyata telah
mengajukan sunnah sebagai argumen membela paham mereka. Menurut para
pengingkar sunnah itu bahwa kelengkapan Al Qur’an telah mencakup segala
sesuatu berkaitan dengan ketentuan agama.
Dengan demikian, tidak
diperlukan adanya keterangan lain seperti sunnah. Mereka berpendapat
bahwa Nabi Muhammad saw tidak berhak menjelaskan Al Qur’an kepada
umatnya, beliau hanya bertugas menerima wahyu dan menyampaikannya kepada
para pengikutnya, di luar tersebut beliau tidak punya wewenang.
Masih menurut mereka bahwa jika di dalam Al Qur’an dinyatakan bahwa
orang-orang yang beriman diperintahkan untuk taat kepada RasulNya, hal
itu berlaku tatkala beliau masih hidup, yakni tatkala jabatan sebagai ulul-amri berada di tangan beliau. Setelah wafat maka kewajiban patuh kepadanya gugur.
Di antara dalil naqli yang mereka jadikan argumen adalah:
“dan Kami turunkan kepadamu al-kitab (Al Qur’an untuk menjelaskan segala sesuatu”. (An Nahl : 89)
Berargumentasi dengan ayat di atas untuk menolak As Sunnah jelas
merupakan kekeliruan yang fatal, sebab ayat tersebut sama sekali tidak
memberikan petunjuk bahwa sunnah tidak diperlukan. Ayat itu sebagaimana
yang telah dinyatakan oleh Imam Syafi’i[1] mengandung pengertian dan petunjuk yang menjelaskan bahwa:
- Ayat Al Qur’an secara tegas menerangkan adanya: Berbagai kewajiban dan teknis pelaksana ibadah tertentu.
- Ayat Al Qur’an menerangkan adanya kewajiban tertentu yang sifatnya global
- Nabi menetapkan suatu ketentuan yang dalam Al Qur’an ketentuan itu tidak dikemukakan secara tegas.
- Allah mewajibkan para hambaNya (yang memenuhi syarat ) untuk melakukan kegiatan ijtihad.
Dalam tafsir Ibnu Katsir dikatakan bahwa ayat tersebut menjelaskan
tentang segala sesuatu, tentang ilmu yang bermanfaat, tentang kabar
umat-umat terdahulu, tentang hal-hal yang akan datang, tentang perbuatan
yang halal dan haram, dan tentang apa yang dibutuhkan manusia untuk
kehidupan dunia dan akibatnya, di samping Al Qur’an merupakan rahmat
serta pembawa kabar gembira bagi orang yang berserah diri kepada Allah
swt.
Selanjutnya para pengingkar sunnah juga berdalih pula dengan ayat:
“..tiadalah kami alpakan sesuatupun di dalam al kitab…” ( al-an’am: 38 )
Berdalih dengan ayat tersebut untuk ingkar sunnah sangat lemah dan
tidak pada tempatnya. Menurut sebagian ulama lagi, yang dimaksud dengan
al-kitab dalam ayat tersebut adalah sesuatu yang global dan ada yang
bersifat rinci.
Ketentuan yang bersifat global dijelaskan rinciannya
oleh hadits Nabi saw. Menurut sebagian ulama lagi, yang dimaksud dengan
kata al-kitab dalam ayat tersebut adalah al-lauh al-mahfuzh. Ayat tersebut menjelaskan bahwa semua peristiwa tidak ada yang dialpakan oleh Allah swt. Semua termaktub dalam al-lauh al-mahfuzh.
Terkait dengan ayat tersebut tafsir Ibnu Katsir telah memaparkan
bahwa Allah swt mengabarkan kepada manusia bahwa semua makhluq yang
melata di atas tanah atau terbang di udara, semua merupakan umat yang
sama dengan manusia dalam hajat kebutuhannya kepada rahmat karunia Allah
swt dan jaminanNya. Dan Dia tidak melalaikan sesuatu pun dalam al
Kitab mengenai rizqi dan pemeliharaannya atau mencakup segala hajat
kebutuhannya. Dan semuanya itu akan dibangkitkan untuk dihadapkan kepada
Allah untuk menerima dan merasakan keadilanNya.
- Argumen-argumen Aqli
Cukup banyak juga argumen-argumen yang termasuk non naqli yang telah
diajukan oleh para pengingkar sunnah, di antaranya yang terpenting
adalah sebagai berikut:
- Al Qur’an diwahyukan oleh Allah swt kepada Nabi Muhammad (melalui malaikat Jibril) dalam bahasa Arab. Orang-orang yang memiliki pengetahuan bahasa Arab mampu memahami Al Qur’an secara langsung, tanpa bantuan penjelasan dari hadits nabi. Dengan demikian, hadits nabi tidak diperlukan untuk memahami petunjuk Al Qur’an.
- Dalam sejarah, umat Islam telah mengalami kemunduran. Umat Islam mundur karena umat Islam terpecah-pecah, perpecahan itu terjadi karena umat Islam berpegang kepada hadits Nabi saw. Jadi menurut para pengingkar sunnah, hadits Nabi saw merupakan sumber kemunduran umat Islam; agar umat Islam maju, maka umat Islam harus meninggalkan hadits nabi.
- Asal mula hadits Nabi saw yang dihimpun dalam kitab-kitab hadits adalah dongeng-dongeng semata. Dinyatakan demikian, karena hadits Nabi saw lahir setelah lama beliau wafat. Kitab-kitab hadits yang terkenal, misalnya shahih al Bukhari dan shahih Muslim, adalah kitab-kitab yang menghimpun berbagai hadits palsu
- Tiada satu pun hadits Nabi saw yang dicatat pada zaman beliau masih hidup. Pencatatan hadits terjadi setelah wafatnya. Dalam masa tidak tertulisnya hadits tersebut, manusia berpeluang untuk mempermainkan dan merusak hadits sebagaimana yang telah terjadi.
- Ulama hadits tidak menyatakan bahwa semua sahabat-sahabat nabi
bersifat tsiqah. Dalam proses kritik sanad, para sahabat nabi tidak
terlepas dari kritik di bidang ke-dhabith-an (kekuatan hafalan) mereka.
[1] Kelengkapannya bisa dilihat di :Ismail, Syuhudi H.M Dr. Prof. 1995 Hadits Nabi Menurut Pembela Pengetahuan Dan Pemalsuannya. Jakarta : Gema Insani Press.
0 comments:
Post a Comment