Assalamu’alaikum
Ustadz, sebelumnya jazakallah atas jawaban atas pertanyaan saya yang
lalu, saya membaca beberapa hadits dalam buku terjemahan Subulus Salam
jilid II yang menyatakan bahwa Rosulullah Saw. melarang kita umat Islam
untuk mencelup kain dengan warna kuning, bagaimana maksudnya, mohon
penjelasannya ? atas segera jawaban Ustadz saya ucapkan Jazakallah
Khoiron Katsiro
Wassalamu’alaikum
Walaikumussalam Wr Wb
Dari Ibnu Umar ra bahwasanya Rasulullah saw pernah ditanya,”Pakaian
apa yang dikenakan saat orang berihram? Beliau saw menjawab,”Janganlah
engkau memakai baju, sorban, celana, baju panjang, terompah kecuali bagi
seseorang yang tidak mendapati sandal maka pakailah terompah itu dengan
dipotong bagian atas dari mata kakinya. Dan janganlah engkau mengenakan
kain yang sedikitpun terkena kunyit (warna kuning).” (Muttafaq alaih,
sedangkan lafazhnya dari Muslim)
Hadits ini merupakan dalil diharamkannya mengenakan pakaian (ihram)
yang dicelup dengan warna kuning. Namun terjadi perbedaan pendapat
terhadap sebab pelarangannya, apakah dikarenakan ia adalah perhiasan
atau bau yang ditimbulkannya ? Maka para ulama berpendapat bahwa sebab
pelarangan itu adalah dikarenakan bau yang ditimbulkannya jika ia
digunakan untuk mewarnai pakaian. Namun apabila ia disiram dengan air
dan baunya menjadi hilang maka diperbolehkan berihram dengannya.
Terdapat didalam sebuah riwayat “Kecuali jika ia mencucinya” walaupun
demikian (dicuci), pengenaan kain berwarna merah dan kuning tetap
diharamkan bagi kaum laki-laki dalam keadaan tidak berihram sebagaimana
diharamkannya saat mereka berihram.” (Subulus Salam juz II hal 386)
Dari Ali ra bahwasanya Rasulullah saw melarang mengenakan pakaian sutra dan juga al muashfar “ (HR. Muslim, Abu Daud, Tirmidzi) Muashfar adalah
pakaian atau kain yang dicelup dengan warna merah yang ditimbulkan dari
tanaman ushfur yaitu tanaman yang bijinya dibuat minyak, yang sudah
dikenal dikalangan orang-orang arab.
Hadits tersebut mengandung pengharaman terhadap pakaian yang dicelup
dengan warna merah (muashfar) sebagaimana pendapat al Hadawiyah.
Sedangkan sekelompok sahabat Nabi saw, tabi’in memperbolehkan pengenaan
pakaian yang dicelup dengan warna merah, demikian pula pendapat fara
fuqoha selain ahmad. Ada juga yang mengatakan makruh tanzih (kalaupun
dilakukan maka pelakunya tidaklah terkena sangsi). Mereka mengatakan
bahwa Nabi saw pernah mengenakan pakaian merah.” Didalam shahihain dari
Ibnu Umar,”Aku pernah menyaksikan Rasulullah saw mencelup dengan warna
kuning.”
Ibnul Qoyyim memberikan jawaban terhadap hal ini dengan mengatakan
bahwa ia adalah pakaian yang seluruhnya merah. Dia mengatakan,”Sesungguhnya
pakaian berwarna merah itu adalah dua pakaian yang berasal dari Yaman
yang dijahit dengan benang berwarna merah dan hitam. Permasalahan hanya
karena terdapat benang merah ini sudah diketahui sedangkan apabila
seluruhnya berwarna merah maka larangan terhadapnya lebih utama lagi.
Disebutkan didalam shahihain bahwa Nabi saw melarang mengenakan sutra
yang berwarna merah.” (Subulussalam juz II hal 178 – 179)
Dalam pewarnaan pada kain ini paling tidak ada dua permasalahan :
Pertama : Apabila kain dicelup dengan warna merah (muasfhar).
Kedua : Apabila kain dicelup dengan warna kuning (muza’far).
Pertama : Apabila kain dicelup dengan warna merah (muasfhar).
Kedua : Apabila kain dicelup dengan warna kuning (muza’far).
Apabila kain dicelup dengan warna merah (muashfar) maka terdapat perbedaan pendapat :
- Ahmad dan al Hadawiyah mengharamkannya berdasarkan riwayat dari Amru bin Ash berkata,”Rasulullah saw melihatku mengenakan dua pakaian dari muasfaroin. Beliau saw bersabda,”Sesungguhnya ini adalah diantara pakaian orang-orang kafir maka janganlah kamu memakainya.” (HR. Muslim)
- Jumhur sahabat, tabi’in, Abu Hanifah, Malik dan Syafi’i membolehkannya berdasarkan riwayat dari Baro bin Azib yang mengatakan,”Aku pernah menyaksikan Nabi saw mengenakan pakaian berwarna merah.” (HR. Bukhori Muslim)
- Ada riwayat dari Imam Malik yang mengatakan bahwa hal itu adalah makruh tanzih apabila dipakai di kebun, pasar dan tempat-tempat lainnya kecuali di dalam atau halaman rumah. Mereka juga berdalil dengan dalil yang digunakan kelompok kedua.
Sedangkan apabila kain dicelup dengan warna kuning (muza’far) maka pendapat para ulama adalah :
- Abu Hanifah, Syafi’i dan para pengikutnya berpendapat bahwa hal itu haram digunakan baik pada pakaian maupun badan, berdasarkan riwayat dari Anas bin Malik ra bahwasanya Rasulullah saw melarang seorang laki-laki yang menggunakan za’faron (warna dari kunyit).” (HR. Bukhori, Muslim, Abu Daud)
- Sebagian ulama ada yang mengatakan bahwa hal itu adalah makruh tanzih berdasarkan riwayat dari Ibnu Umar ra yang berkata,”Aku pernah menyaksikan Nabi saw mencelup dengan warna kuning.”
- Sebagian ulama yang lain ada yang melarangnya pada saat mengenakan ihram untuk haji atau umroh berdasarkan hadits Ibnu Umar bahwa Nabi saw melarang seorang yang berihram mengenakan kain yang terdapat waros atau za’faron (warna kuning).
- Imam Malik membolehkan penggunaan warna kuning untuk kain / pakaian dan diharamkan apabila digunakan untuk badan, berdasarkan riwayat dari Abu Musa bahwa Rasulullah saw bersabda,”Allah tidak menerima shalat seseorang yang dibadannya ada sesuatu dari kholuq (pewangi yang berwarna kuning).”.
Didalam kitabnya “Ma’rifatus Sunan” Imam Baihaqi memberikan tanggapan
terhadap pendapat Imam Syafi’i yang mengharamkan pencelupan kain dengan
warna kuning dengan mengatakan,” Imam Syafi’i melarang seseorang
terhadap kunyit (warna kuning) dan membolehkan muashfar (warna merah)
dengan mengatakan bahwa aku memberikan keringanan didalam muashfar
dikarenakan aku tidak mendapati seorang pun yang menceritakan dari Nabi
saw yang melarang tentang hal ini kecuali apa yang dikatakan oleh Ali ra
yang mencegahku dan aku tidak mengatakan mencegah kalian.
Baihaqi mengatakan bahwa ada hadits-hadits yang menunjukkan tentang
pelarangan tentang hal itu secara umum lalu dia menyebutkan hadits
Abdullah bin Amr bin al ‘Ash diatas yang diriwayatkan oleh Imam Muslim
dan juga beberapa hadits yang lainnya. Kemudian dia
mengatakan,”Seandainya hadits-hadits ini sampai kepada Syafi’i pasti dia
akan berdalil dengan hadits-hadits ini.” Kemudian dia juga menyebutkan
sanad-sanadnya yang dishahihkan oleh Syafi’i dan dia (Syafi’i)
mengatakan,”Apabila hadits Nabi saw berbeda dengan pendapatku maka
amalkanlah hadits itu dan tinggalkanlah pendapatku.” Dan dalam riwayat
lain dia mengatakan,”Itu adalah pendapatku.”
Baihaqi mengatakan,”Syafi’i telah mengatakan,”Dan aku melarang
seorang yang tidak sedang mengenakan ihram dalam kondisi apa pun
mengenakan za’faron (warna kuning).” Dia berkata,”dan aku
memerintahkannya apabila dia mengenakan pakaian kuning hendaklah dia
mandi.” Baihaqi mengatakan,”Dia mengikuti sunnah didalam kain yang
dicelup dengan warna kuning maka apabila dia mengikutinya pula didalam
muashfar (warna merah) tentulah lebih utama.” Dia
mengatakan,”Sebagian salaf telah memakruhkan muashfar, demikian ini juga
pandapat Abu Ubaidah al Hulaimi dari para sahabat kami dan hal ini
dirukhshohkan oleh sekelompok ulama. Karena sunnah lebih utama untuk
diikuti. (Shohih Muslim bi Syarhin Nawawi juz XIV hal 74 – 76)
Jadi dilarang bagi seorang laki-laki mencelup kainnya dengan ushfur
sehingga berwarna merah dan juga dengan za’fron sehingga berwarna merah.
Adapun pakaian-pakaian dari warna-warna selainnya maka para ulama
tidaklah berbeda pendapat dalam membolehkannya, bahkan mereka telah
bersepakat dalam hal ini sebagaimana disebutkan oleh Nawawi didalam
majmu’ (4/337) : “Diperbolehkan mengenakan warna putih, merah,
kuning, hijau baik ia merupakan garis-garis warna maupun tidak bergaris,
tidak ada perbedaan didalam hal ini dan tidak pula dimakruhkan sedikit
pun.”
Didalam “al Mausu’ah al Fiqhiyah” (6/132 – 136) disebutkan bahwa para
ulama telah bersepakat bahwa sunnah mengenakan pakaian berwarna putih…
para fuqoha telah bersepakat bahwa boleh mengenakan pakaian yang
berwarna merah / kuning selama bukan berasal dari muashfar atau
muza’far”
Bagi para wanita diperbolehkan mengenakan warna apa saja selama ia
tidak berhias untuk orang-orang asing (bukan suaminya). Adapun
orang-orang yang mengharamkan muashfar, muza’far dan yang lainnya
hanyalah mengkhususkannya bagi kaum laki-laki.
Ibnu Abdil Barr didalam “Tamhid” (16/123) mengatakan,”Adapun
terhadap kaum wanita maka tidak ada perbedaan diantara para ulama dalam
membolehkan pakaian mereka dicelup dengan muashfar, baik yang merah
pekat, merah tidak pekat, atau kain yang dicelup dengan warna merah
tipis.” (www.islam-qa.com)
Wallahu A’lam
0 comments:
Post a Comment