Rasa
haru, persaudaraan, kemurahan hati dan tidak mementingkan diri sendiri
yang dirasakan Malcolm X di kota Mekkah saat melaksanakan ibadah haji,
membuka mata hatinya tentang semangat Islam yang sebenarnya. Dalam buku
autobiografi yang ditulisnya bersama Alex Haley, Malcolm menulis,
“Karena pencerahan spiritual dimana saya mendapatkan rahmat untuk
mengalaminya setelah melaksanakan ibadah haji ke kota Mekkah, saya tidak
lagi membiasakan melempar dakwaan kepada ras manapun.
Sekarang, saya
berjuang untuk hidup sebagai seorang Muslim Sunni sejati. Saya harus
mengulangi bahwa saya bukan seorang rasis dan bukan pula seorang yang
menganut prinsip rasisme. Saya nyatakan dengan ketulusan hati bahwa saya
tidak berharap apa-apa kecuali kebebasan, keadilan dan persamaan,
kehidupan, kemerdekaan serta kebahagiaan untuk semua orang,”
Dalam buku Autobiography of Malcolm X, Malcolm X atau nama Islamnya
Malik al-Shabazz mengungkapkan kesan-kesannya melaksanakan ibadah haji
di tanah suci dalam surat yang ditujukan ke asistennya di Harlem. Surat
itu ia kirim dari Mekkah pada bulan April 1964. Berikut isi suratnya:
Saya tidak pernah menyaksikan keramahtamahan yang begitu tulus dan
semangat kebersamaan yang begitu besar, seperti yang dilakukan oleh umat
manusia dari berbagai warna kulit dan ras di kota suci ini, rumah dari
Ibrahim, Muhammad dan nabi-nabi lainnya yang disebut dalam kita suci
Al-Quran. Dalam beberapa minggu yang saya lewati, saya benar-benar
kehilangan kata-kata dan terpesona dengan keagungan yang saya saksikan
di sekitar saya yang dilakukan oleh umat manusia dari berbagai bangsa.
Saya beruntung bisa berkunjung ke kota suci Mekkah; Saya sudah melakukan
tawaf keliling Ka’bah 7 putaran, dipimpin oleh seorang Mutawwaf
(pembimbing) muda bernama Muhammad; Saya minum air dari sumur air
Zamzam; Saya lari 7 kali bolak-balik dari bukit Safa ke bukit Marwa;
Saya berdoa di kota tua Mina dan Saya berdoa di pegungungan Arafah. Di
sana ada puluhan ribu jemaah haji dari seluruh dunia. Mereka berasal
dari berbagai warna kulit dari yang bermata biru, pirang sampai yang
berkilit hitam dari Afrika. Namun mereka semua melakukan ritual yang
sama, menunjukkan semangat persatuan dan persaudaraan yang dari
pengalaman saya di Amerika telah membuat saya percaya bahwa hal semacam
ini tidak akan pernah terjadi antara kulit putih dan non kulit putih.
Amerika perlu memahami Islam, karena Islam adalah agama yang
menghapuskan masalah rasa di kalangan pemeluknya. Dari seluruh
perjalanan yang pernah saya lakukan ke dunia Islam, saya bertemu, bicara
dan bahkan makan bersama dengan orang-orang yang di Amerika akan
dianggap sebagai orang kulit putih-namun sikap sebagai orang kulit putih
telah dihilangkan dari pikiran mereka oleh agama Islam.
Saya tidak pernah menyaksikan sebelumnya, ketulusan dan rasa
persaudaraan sejati yang dilakukan oleh orang-orang dari berbagai warna
kulit bersama-sama, mereka mengabaikan warna masing-masing. Kamu mungkin
akan sangat terkejut dengan kata-kata saya ini. Tapi dalam pelaksanaan
ibadah haji, apa yang saya lihat dan saya alami, memaksa saya untuk
menyusun kembali banyak dari pola pikir yang saya anut sebelumnya dan
membuang sejumlah kesimpulan yang buat di masa lalu. Ini tidak terlalu
sulit buat saya. Disamping pendirian saya yang kuat, saya selalu menjadi
orang yang berusaha menghadapi kenyataan dan menerima kenyataan hidup
sebagai pengalaman baru dan pengetahuan baru yang terbentang. Saya
selalumenjaga untuk tetap terbuka, yang merupakan hal pentinguntuk
bersikap fleksibel agar berjalan bersisian dengan setiap bentuk
pencarian untuk mendapatkan kebenaran.
Selama 7 hari yang saya lewati di sini, di negara Islam ini, saya
makan bersama dari piring yang sama, minum dari gelas yang sama dan
tidur di karpet yang sama-ketika berdoa pada Tuhan yang sama-dengan
saudara-saudara sesama Muslim, yang matanya lebih biru dari yang biru,
yang rambutnya lebih pirang dari yang piran dan kulitnya lebih putih
dari yang putih. Dan dalam perkataan dan perbuatan Muslim berkulit putih
itu, saya merasakan ketulusan yang sama seperti yang saya rasakan
ketika berada di antara Muslim berkulit hitam yang berasal dari Nigeria,
Sudan dan Ghana. Kami benar-benar menjadi satu saudara-karena keimanan
mereka pada satu tuhan telah menghapus pemikiran bahwa mereka orang
kulit putih, baik dari sikap maupun tingkah laku mereka. Apa yang saya
lihat dari pengalaman ini, bahwa mungkin jika orang kulit putih Amerika
bisa menerima ke-Esa-an Tuhan, maka mungkin mereka juga bisa menerima
bahwa semua umat manusia adalah sama-dan berhenti melakukan tindakan,
menghalangi dan membahayakan orang lain hanya karena ‘perbedaan’ warna
kulit. Dengan wabah rasisme di Amerika yang sudah seperi kanker yang
tidak bisa dicegah, kemudian apa yang disebut hati ‘Orang Kristen’ kulit
putih Amerikaselayaknya lebih bisa menerima sebuah solusi yang sudah
terbukti untuk mengatasi masalah-masalah destruktif itu. Mungkin ini
sudah saatnya melindung Amerika dari bencana yang makin dekat-kerusakan
yang sama yang dialami negara Jerman akibat rasisme yang pada akhirnya
menghancurkan bangsa Jerman sendiri. Setiap jam, di sini, di kota suci
membuat saya belajar untuk memiliki wawasan spiritual yang lebih besar
terhadap apa yang terjadi di AS antara orang kulit putih dan kulit
hitam. Orang Negro Amerika tidak bisa disalahkan atas rasa dendam rasial
mereka-mereka hanya bereaksi atas rasisme yang dilakukan warga kulit
putih Amerika secara sadar selama hampir empat ratus tahun. Tapi seiring
dengan rasisme yang mengarahkan Amerika ke jalan bunuh diri, saya tetap
yakin, di akademi-akademi dan universitas-universitas, akan terlihat
tulisan-tulisan tangan di dinding-dinding dan banyak di antara mereka
yang akan berubah ke jalan spiritual yang sebenarnya-satu-satunya jalan
yang menjadikan Amerika untuk terhindar dari bencana akibat tindakan
rasisme yang tidak bisa dihindari akan menimbulkan bencana itu.
Saya tidak pernah merasa sedemikian terhormat. Saya tidak pernah
merasa begitu rendah hati dan merasa tidak berharga. Siapa yang akan
percaya akan rahmat yang telah dilimpahkan pada seorang Negro Amerika?
Beberapa malam yang lalu, seorang laki-laki yang di Amerika akan disebut
kulit putih, seorang diplomat PBB, seorang duta besar, seorang
penasehat raja, memberikan ruangan suite hotelnya pada saya, tempat
tidurnya. Tidak pernah terlintas dalam pikiran saya, bahka bermimpi
bahwa saya akan menerima kehormatan semacam itu-kehormatan yang di
Amerika akan dipersembahkan hanya untuk seorang Raja, bukan seorang
Negro.
0 comments:
Post a Comment